Rabu, 28 Oktober 2009

Sejarah BURGERKILL

Sejarah BURGERKILL - band dari Ujung Berung, Bandung

Ini merupakan sebuah cerita pendek dari 12 tahun perjalanan karir
bermusik dari sebuah band super keras yang telah menjadi fenomena di
populasi musik keras khususnya di Indonesia. Sebuah band yang namanya
diambil dari selewengan sebuah nama restaurant fast food asal Amerika,
ya mereka adalah Burgerkill band asal origin Ujungberung, tempat
orisinil tumbuh dan berkembangnya komunitas Death Metal / Grindcore di
daerah timur kota Bandung. Band lulusan scene Uber ( nama keren
Ujungberung ) selalu dilengkapi gaya Stenografi Tribal dan musik
agresif yang super cepat, Jasad, Forgotten, Disinfected, dan Infamy to
name a few.
Burgerkill berdiri pada bulan Mei 1995 berawal dari Eben, scenester
dari Jakarta yang pindah ke Bandung untuk melanjutkan sekolahnya. Dari
sekolah itulah Eben bertemu dengan Ivan, Kimung, dan Dadan sebagai
line-up pertamanya. Band ini memulai karirnya sebagai sebuah side
project yang ga punya juntrungan, just a bunch of metal kids jamming
their axe-hard sambil menunggu band orisinilnya dapat panggilan
manggung. Tapi tidak buat Eben, dia merasa bahwa band ini adalah
hidupnya dan berusaha berfikir keras agar Burgerkill dapat diakui di
komunitasnya. Ketika itu mereka lebih banyak mendapat job manggung di
Jakarta melalui koneksi Hardcore friends Eben, dari situlah antusiasme
masyarakat underground terhadap Burgerkill dimulai dan fenomena musik
keras tanpa sadar telah lahir di Indonesia.
Walhasil line-up awal band ini pun tidak berjalan mulus, sederet
nama musisi underground pernah masuk jajaran member Burgerkill sampai
akhirnya tiba di line-up solid saat ini. Ketika dimulai tahun 1995
mereka hanya berpikir untuk manggung, pulang, latihan, manggung lagi
dst. Tidak ada yang lain di benak mereka, tapi semuanya berubah ketika
mereka berhasil merilis single pertamanya lewat underground phenomenon
Richard Mutter yang merilis kompilasi cd band-band Bandung pada awal
1997. Nama lain seperti Full Of Hate, Puppen, dan Cherry Bombshell juga
bercokol di kompilasi yang berjudul “Masaindahbangetsekalipisan”
tersebut. Memang masa itu masa indah musik underground. Everything is
new and new things stoked people! Tidak tanggung lagu Revolt! dari
Burgerkill menjadi nomor pembuka di album yang terjual 1000 keping
dalam waktu singkat ini.
Setelah mengenal nikmatnya menggarap rekaman, anak anak ini tidak
pernah merasa ingin berhenti, dan pada akhir tahun 1997 mereka kembali
ikut serta dalam kompilasi “Breathless” dengan menyertakan lagu
“Offered Sucks” didalamnya. Awal tahun 1998 perjalanan mereka berlanjut
dengan rilisan single Blank Proudness, pada kompilasi band-band
Grindcore Ujungberung berjudul “Independent Rebel”. Yang ketika itu
dirilis oleh semua major label dengan distribusi luas di Indonesia dan
juga di Malaysia. Setelah itu nama Burgerkill semakin banyak menghias
concert flyers di seputar komunitas musik underground. The Antics went
higher, semakin banyak fans berat menunggu kehadiran mereka diatas
panggung. Burgerkill sang Hardcore Begundal!
Disekitar awal tahun 1999, mereka mendapat tawaran dari perusahaan
rekaman independent Malaysia, Anak Liar Records yang berakhir dengan
deal merilis album Three Ways Split bersama dengan band Infireal
(Malaysia) dan Watch It Fall (Perancis). Hubungan dengan network
underground di Malaysia dan Singapura berlanjut terus hingga sekarang.
Burgerkill menjadi langganan cover zine independent di negara-negara
tersebut dan berimbas dengan terus bertambahnya fans mereka dari negeri
Jiran. Di tahun 2000, akhirnya Burgerkill berhasil merilis album
perdana mereka dengan title “Dua Sisi” dan 5000 kaset yang di cetak
oleh label indie asal Bandung, Riotic Records ludes habis dilahap
penggemar fanatik yang sudah tidak sabar menunggu sejak lama. Di tahun
yang sama, band ini juga merilis single “Everlasting Hope Never Ending
Pain” lewat kompilasi “Ticket To Ride”, sebuah album yang benefitnya
disumbangkan untuk pembangunan sebuah skatepark di kota Bandung.
Single terakhir menjadi sebuah jembatan ke era baru Burgerkill,
dimana masa awal mereka lagu-lagu tercipta hasil dari pengaruh
band-band Oldschool Hardcore, Name it: Minor Threat, 7 Seconds, Gorilla
Biscuits, Youth of Today, Sick of it All, Insted, Etc. Seiring dengan
waktu, mereka mulai untuk membuka pengaruh lain. Masuklah pengaruh dari
band band Modern Metal dan Newschool Hardcore dengan beat yang lebih
cepat dan lebih agresif, selain itu juga riff-riff powerchord yang
enerjik menjadi bagian kental pada lagu-lagu Burgerkill serta
dilengkapi oleh fill-in gitar yang lebih menarik. Anak-anak ini memang
tidak pernah puas dengan apa yang mereka hasilkan, mereka selalu ingin
berbuat lebih dengan terus membuka diri pada pengaruh baru. Hampir
semua format musik keras dilahap dan di interprestasikan kedalam lagu,
demikianlah Burgerkill berkembang menjadi semakin terasah dan dewasa.
Lagu demi lagu mereka kumpulkan untuk menjadi sebuah materi lengkap
rilisan album kedua.
Beberapa Mainstream Achievement pun sempat mereka rasakan, salah
satunya menjadi nominator Band Independent Terbaik ala majalah
NewsMusik di tahun 2000. Awal tahun 2001 pun mereka berhasil melakukan
kerjasama dengan sebuah perusahaan produk sport apparel asal Amerika:
PUMA yang selama 1 tahun mensupport setiap kali Burgerkill melakukan
pementasan. Dan sejak Oktober 2002 sebuah produk clothing asal
Australia: INSIGHT juga mensupport dalam setiap penampilan mereka.
Pertengahan Juni 2003, Burgerkill menjadi band Hardcore pertama di
Indonesia yang menandatangani kontrak sebanyak 6 album dengan salah
satu major label terbesar di negeri ini, Sony Music Entertainment
Indonesia. Dan setelah itu akhir tahun 2003, Burgerkill berhasil
merilis album kedua mereka dengan title “Berkarat”. Lagu-lagu pada
album ini jauh lebih progressif dan penuh dengan teknik yang lebih
terasah dibandingkan album sebelumnya. Hampir tidak ada lagi nuansa
straight forward dan moshpart sederhana ala band standard Hardcore yang
tercermin dari single-single awal mereka. Pada sector vocal dengan
tetap mengedepankan nuansa depresif dan kelam, karakter vocal Ivan sang
vokalis Bengal lebih berani dimunculkan dengan penulisan bahasa pertiwi
dan artikulasi kata yang lebih jelas. Dan di sector musik pun, Toto,
Eben, Andris dan gitaris baru mereka Agung semakin berani menjelajahi
daerah-daerah baru yang sebelumnya tidak pernah dijajaki kelompok musik
keras manapun di Indonesia.
Sebuah kejutan hadir pada pertengahan tahun 2004, lewat album
“Berkarat” Burgerkill masuk kedalam salahsatu nominasi dalam salah satu
event Achievement musik terbesar di Indonesia “Ami Awards”. Dan secara
mengejutkan mereka berhasil menyabet award tahunan tersebut untuk
kategori “Best Metal Production”. Sebuah prestasi yang mungkin tidak
pernah terlintas di benak mereka, dan bagi mereka hal tersebut
merupakan sebuah tanggung jawab besar yang harus mereka buktikan
melalui karya-karya mereka selanjutnya.
Di awal tahun 2005 di tengah kesibukan mereka mempersiapkan materi
untuk album ketiga, Toto memutuskan untuk meninggalkan band yang telah
selama 9 tahun dia bangun bersama. Namun kejadian ini tidak membuat
anak-anak Burgerkill putus semangat, mereka kembali merombak formasinya
dengan memindahkan Andris dari posisi Bass ke posisi Drums dan terus
melanjutkan proses penulisan lagu dengan menggunakan additional bass
player. Sejalan dengan selesainya penggarapan materi album ketiga,
tepatnya November 2005, Burgerkill memutuskan kontrak kerjasama dengan
Sony Music Entertainment Indonesia dikarenakan tidak adanya kesepakatan
dalam pengerjaan proyek album ketiga. So guys…these kids always have a
great spirit to keep blowing their power, dan akhirnya mereka sepakat
untuk tetap merilis album ke-3 “Beyond Coma And Despair” di bawah label
mereka sendiri Revolt! Records di pertengahan Agustus 2006. Album
ketiga yang memiliki arti sangat dalam bagi semua personil Burgerkill
baik secara sound, struktur, dan format musik yang mereka suguhkan
sangat berbeda dengan dua album sebelumnya. Materi yang lebih berat,
tegas, teknikal, dan berani mereka suguhkan dengan maksimal disetiap
track-nya.
Namun tak ada gading yang tak patah, sebuah musibah terbesar dalam
perjalanan karir mereka pun tak terelakan, Ivan sang vokalis akhirnya
menghembuskan nafas terakhirnya ditengah-tengah proses peluncuran album
baru mereka di akhir Juli 2006. Peradangan pada otaknya telah merenggut
nyawa seorang ikon komunitas musik keras di Indonesia. Tanpa disadari
semua penulisan lirik Ivan pada album ini seolah-olah mengindikasikan
kondisi Ivan saat itu, dilengkapi alur cerita personal dan depresif
yang terselubung sebagai tanda perjalanan akhir dari kehidupannya.
“Beyond Coma And Despair” sebuah album persembahan terakhir bagi Ivan
Scumbag yang selama ini telah menjadi seorang teman, sahabat, saudara
yang penuh talenta dan dedikasi dengan disertai karakter karya yang
mengagumkan. Burgerkill pun berduka, namun mereka tetap yakin untuk
terus melanjutkan perjalanan karir bermusik yang sudah lebih dari 1
dekade mereka jalani, dan sudah tentu dengan menghadirkan seorang
vokalis baru dalam tubuh mereka saat ini. Akhirnya setelah melewati
proses Audisi Vokal, mereka menemukan Vicki sebagai Frontman baru untuk
tahap berikutnya dalam perjalanan karir mereka.
Dan pada awal Januari 2007 mereka telah sukses menggelar serangkaian
tour di kota-kota besar di Pulau Jawa dan Bali dalam rangka
mempromosikan album baru mereka. Target penjualan tiket di setiap kota
yang didatangi selalu mampu mereka tembus, dan juga ludesnya penjualan
tiket di beberapa kota menandakan besarnya antusiasme masyarakat musik
cadas di Indonesia terhadap penampilan Burgerkill. A written story just
wouldn’t enough, tunggu kejutan dan dengarkan album baru mereka, tonton
konsernya dan rasakan sensai musik keras yang tak akan kamu lupakan.
berita yang telah kami terima bahwa mereka sempat pada bulan Maret 2009
Tour diAustralia dengan tajuk “The Invasion Of Noise” Western
Australian Tour 2009. dan mereka juga akan segera melaksanakan Tur
dibulan Mei 2009 ke Malaysia “Malaysian Hardcore Mosh Wanted Part II”.

BURGERKILL

Burgerkill Band asli ti Bandung

October 5, 2008

Burgerkill berdiri pada bulan Mei 1995 berawal dari Eben, scenester dari Jakarta yang pindah ke Bandung untuk melanjutkan sekolahnya. Dari sekolah itulah Eben bertemu dengan Ivan, Kimung, dan Dadan sebagai line-up pertamanya. Band ini memulai karirnya sebagai sebuah side project yang ga punya juntrungan, just a bunch of metal kids jamming their axe-hard sambil menunggu band orisinilnya dapat panggilan manggung. Tapi tidak buat Eben, dia merasa bahwa band ini adalah hidupnya dan berusaha berfikir keras agar Burgerkill dapat diakui di komunitasnya. Ketika itu mereka lebih banyak mendapat job manggung di Jakarta melalui koneksi Hardcore friends Eben, dari situlah antusiasme masyarakat underground terhadap Burgerkill dimulai dan fenomena musik keras tanpa sadar telah lahir di Indonesia.

Disekitar awal tahun 1999, mereka mendapat tawaran dari perusahaan rekaman independent Malaysia, Anak Liar Records yang berakhir dengan deal merilis album Three Ways Split bersama dengan band Infireal (Malaysia) dan Watch It Fall (Perancis). Hubungan dengan network underground di Malaysia dan Singapura berlanjut terus hingga sekarang. Burgerkill menjadi langganan cover zine independent di negara-negara tersebut dan berimbas dengan terus bertambahnya fans mereka dari negeri Jiran. Di tahun 2000, akhirnya Burgerkill berhasil merilis album perdana mereka dengan title “Dua Sisi” dan 5000 kaset yang di cetak oleh label indie asal Bandung, Riotic Records ludes habis dilahap penggemar fanatik yang sudah tidak sabar menunggu sejak lama. Di tahun yang sama, band ini juga merilis single “Everlasting Hope Never Ending Pain” lewat kompilasi “Ticket To Ride”, sebuah album yang benefitnya disumbangkan untuk pembangunan sebuah skatepark di kota Bandung.

Pertengahan Juni 2003, Burgerkill menjadi band Hardcore pertama di Indonesia yang menandatangani kontrak sebanyak 6 album dengan salah satu major label terbesar di negeri ini, Sony Music Entertainment Indonesia. Dan setelah itu akhir tahun 2003, Burgerkill berhasil merilis album kedua mereka dengan title “Berkarat”. Lagu-lagu pada album ini jauh lebih progressif dan penuh dengan teknik yang lebih terasah dibandingkan album sebelumnya. Hampir tidak ada lagi nuansa straight forward dan moshpart sederhana ala band standard Hardcore yang tercermin dari single-single awal mereka. Pada sector vocal dengan tetap mengedepankan nuansa depresif dan kelam, karakter vocal Ivan sang vokalis Bengal lebih berani dimunculkan dengan penulisan bahasa pertiwi dan artikulasi kata yang lebih jelas. Dan di sector musik pun, Toto, Eben, Andris dan gitaris baru mereka Agung semakin berani menjelajahi daerah-daerah baru yang sebelumnya tidak pernah dijajaki kelompok musik keras manapun di Indonesia.

Di awal tahun 2005 di tengah kesibukan mereka mempersiapkan materi untuk album ketiga, Toto memutuskan untuk meninggalkan band yang telah selama 9 tahun dia bangun bersama. Namun kejadian ini tidak membuat anak-anak Burgerkill putus semangat, mereka kembali merombak formasinya dengan memindahkan Andris dari posisi Bass ke posisi Drums dan terus melanjutkan proses penulisan lagu dengan menggunakan additional bass player. Sejalan dengan selesainya penggarapan materi album ketiga, tepatnya November 2005, Burgerkill memutuskan kontrak kerjasama dengan Sony Music Entertainment Indonesia dikarenakan tidak adanya kesepakatan dalam pengerjaan proyek album ketiga. So guys…these kids always have a great spirit to keep blowing their power, dan akhirnya mereka sepakat untuk tetap merilis album ke-3 “Beyond Coma And Despair” di bawah label mereka sendiri Revolt! Records di pertengahan Agustus 2006. Album ketiga yang memiliki arti sangat dalam bagi semua personil Burgerkill baik secara sound, struktur, dan format musik yang mereka suguhkan sangat berbeda dengan dua album sebelumnya. Materi yang lebih berat, tegas, teknikal, dan berani mereka suguhkan dengan maksimal disetiap track-nya.

Namun tak ada gading yang tak patah, sebuah musibah terbesar dalam perjalanan karir mereka pun tak terelakan, Ivan sang vokalis akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya ditengah-tengah proses peluncuran album baru mereka di akhir Juli 2006. Peradangan pada otaknya telah merenggut nyawa seorang ikon komunitas musik keras di Indonesia. Tanpa disadari semua penulisan lirik Ivan pada album ini seolah-olah mengindikasikan kondisi Ivan saat itu, dilengkapi alur cerita personal dan depresif yang terselubung sebagai tanda perjalanan akhir dari kehidupannya. “Beyond Coma And Despair” sebuah album persembahan terakhir bagi Ivan Scumbag yang selama ini telah menjadi seorang teman, sahabat, saudara yang penuh talenta dan dedikasi dengan disertai karakter karya yang mengagumkan. Burgerkill pun berduka, namun mereka tetap yakin untuk terus melanjutkan perjalanan karir bermusik yang sudah lebih dari 1 dekade mereka jalani, dan sudah tentu dengan menghadirkan seorang vokalis baru dalam tubuh mereka saat ini. Akhirnya setelah melewati proses Audisi Vokal, mereka menemukan Vicki sebagai Frontman baru untuk tahap berikutnya dalam perjalanan karir mereka.

Dan pada awal Januari 2007 mereka telah sukses menggelar serangkaian tour di kota-kota besar di Pulau Jawa dan Bali dalam rangka mempromosikan album baru mereka. Target penjualan tiket di setiap kota yang didatangi selalu mampu mereka tembus, dan juga ludesnya penjualan tiket di beberapa kota menandakan besarnya antusiasme masyarakat musik cadas di Indonesia terhadap penampilan Burgerkill. A written story just wouldn’t enough, tunggu kejutan dan dengarkan album baru mereka, tonton konsernya dan rasakan sensai musik keras yang tak akan kamu lupakan…BURGERKILL HARDCORE BEGUNDAL IN YOUR FACE, WHATEVER!!!

Ujung berung rebels

Ujung berung rebels
________________________________________
By Kimung

Dalam setiap wawancara, Bebi, penabuh drum Beside, selalu menyebutkan jika mereka adalah band kecil dan tidak menyangka akan memiliki massa lebih dari 1.000 penggemar. Satu yang Bebi lupa, Beside adalah salah satu band yang tumbuh di komunitas metal tertua, sekaligus paling bertahan di Bandung atau mungkin di Indonesia, Ujungberung Rebels.
Ujungberung 1990
Tak jelas kapan rock/metal masuk ke Ujungberung. Agaknya, sejak booming heavy metal di Indonesia pertengahan tahun 1980-an, Ujungberung tak ketinggalan tren ini. Dalam kondisi yang sangat terbatas, beberapa gelintir kaum muda Ujungberung membentuk band dan memainkan lagu-lagu band rock favorit mereka.
Kang Koeple (kakak Yayat-produser Burgerkill) dan Kang Bey (kakak Dani-Jasad) bisa disebutkan sebagai generasi awal. Pertengahan 1980-an hingga awal 1990-an, mereka memainkan lagu rock semacam Deep Purple, Led Zeppelin, Queen, dan Iron Maiden selain menciptakan lagu sendiri.
Pada era ini, kultur panggung yang sedang berkembang luas adalah kultur festival. Band tanding di sebuah festival musik dan yang menang dihadiahi dapur rekaman. Rudal Rock Band adalah band ikon zaman ini. Penonton selalu tercengang jika menyaksikan band ini di atas pentas.
Ketercengangan itu juga yang menginspirasi generasi adik-adik Kang Koeple dan Kang Bey untuk mendirikan band. Tahun 1991 di Ujungberung lahir band ikon awal Ujugberung Rebels, Funeral yang digawangi Iput, Uwo, Agus, dan Aam. Mereka memainkan lagu-lagu Sepultura, Napalm Death, Terrorizer. Tak lama setelah Funeral, lahir Necromancy yang dibidani Dinan, Oje, Punky, Boy. Mereka memainkan lagu-lagu Carcass dan Megadeth. Dua band ini bermarkas di sebelah barat Ujungberung, tepatnya di kawasan Taruna Parahyangan, Sukaasih.
Di pusat kota Ujungberung, berdiri Orthodox yang membawakan nomor-nomor dari Sepultura dan digawangi Yayat, Dani, Agus, dan Andris. Sementara itu, di Ujungberung sebelah timur, kawasan Tirtawening, Cilengkrang I, berdiri Jasad (Yulli, Tito, Hendrik, Ayi).
Di kawasan Manglayang, Cilengkrang II berdiri band metal Monster dengan motor gitaris Ikin, didukung Yadi, Abo, Yordan, Kenco, dan Kimung. Mereka membawakan lagu-lagu ciptaan sendiri, berkiblat ke musik heavy dan thrash metal.
Faktor teknologi komunikasi berperan besar dalam mempersatukan band-band ini. Masa itu teknologi komunikasi yang berkembang adalah "radio 2 meteran" atau sering disebut brik-brikan. Dinan (Necromancy) kenal dengan Uwo-Agus (Funeral) dari jamming brik-brikan. Pun di kawasan Manglayang, para personel Monster adalah para pecandu brik-brikan. Mereka berbincang, saling tukar informasi, dan akhirnya bertemu, membuat band, dan membangun komunitas.
Faktor kawan sesekolah juga menjadi stimulan terbentuknya sebuah band. SMP 1 Ujungberung--kini SMP 8 Bandung--menyumbangkan Toxic (Addy-Ferly-Cecep-Kudung) yang merupakan cikal bakal dari Forgotten.
Band anak-anak SMP ini berdiri sekitar tahun 1991 atau 1992. Selain SMP Ujungberung, SMA Ujungberung (kini SMA 24 Bandung) dan SMA KP 2 adalah penyumbang utama musisi muda yang kelak menjadi generasi pendobrak Ujungberung Rebels.
Era ini juga ditandai dengan adanya Radio Salam Rama Dwihasta yang memiliki program memutarkan musik-musik metal. Nama programnya "Bedebah", singkatan dari Bandung Death Metal Area. Ketika permetalan saat itu didominasi heavy metal, "Bedebah" sudah menggeber gelombang dengan Napalm Death, Carcass, Terrorrizer, Morbid Angel. Dua penyiarnya adalah Agung dan Dinan, dan kabarnya mereka masih berseragam putih abu saat itu. Di balik usia belia mereka, terdapat semangat pionir dalam upaya menyebarkan musik metal di Ujungberung dan Bandung.
"Homeless crew"
Kultur festival yang dirasa kurang bersahabat karena begitu banyak syarat dalam berekspresi, membuat gerah segelintir musisi muda. Akhir tahun 1993, muncul kekuatan baru dari Ujungberung, ditandai dengan berdirinya Studio Palapa. Studio ini segera menjadi kawah candradimuka band-band Ujungberung hingga melahirkan band-band besar, kru-kru yang solid, dan musisi-musisi jempolan. Studio Palapa juga yang kemudian melahirkan rilisan-rilisan kaset pertama di Indonesia.
Mereka merekam lagu-lagu dengan biaya sendiri, mendistribusikan sendiri, melakukan semua dengan semangat do it yourself. Dari 10 band independen di Indonesia yang tercatat majalah Hai tahun 1995, tiga di antaranya berasal dari Ujungberung. Mereka adalah Sonic Torment, Jasad, dan Sacrilegious. Label dan perusahaan rekaman yang mereka kibarkan adalah Palapa Records.
Tahun 1995, di Ujungberung berdiri sebuah perkumpulan anak-anak metal bawah tanah yang menamakan diri sebagai Extreme Noise Grinding (ENG). ENG digagas antara lainYayat dan Dinan sebagai wadah kreativitas anak-anak Ujungberung. Propaganda awal mereka adalah membuat sebuah media sharing antar dan inter komunitas musik metal bawah tanah berbentuk zine dengan nama Revograms. Zine ini disebut-sebut sebagai zine pertama di komunitas musik bawah tanah dan juga komunitas independen Indonesia.
Revogram digagas Dinan dan dilaksanakan tim redaksi Revogram beranggotakan Ivan, Kimung, Yayat, Dandan, Sule, Gatot. Propaganda selanjutnya adalah membuat acara musik Bandung Berisik Demo Tour yang lalu dikenal sebagai Bandung Berisik I. Di acara ini lima belas band Ujungberung unjuk gigi, ditambah bintang tamu Insanity dari Jakarta.
Setelah Bandung Berisik, dibuat kompilasi band-band Ujungberung. Kompilasi tersebut memuat 16 band metal Ujungberung dan bertajuk Ujungberung Rebels. Kompilasi ini dirilis Musica dengan judul Independen Rebels dengan nilai transaksi Rp 14 juta tahun 1998. Namun demikian, nama Ujungberung Rebels tak lantas pudar. Nama ini lalu lekat erat menjadi identitas komunitas musik metal bawah tanah Ujungberung, berdampingan dengan nama Homeless Crew yang merujuk pada gaya hidup musisi Ujungberung yang hidup di jalanan dan bohemian.
Keuntungan kompilasi Independen Rebels dijadikan modal mendirikan Rebellion, sebuah distro yang menampung kreativitas masyarakat musik bawah tanah oleh Yayat selaku produser. Rebellion belakangan bersinergi dengan Pisces Studio, sebuah studio yang dikelola Dandan setelah pengelola Studio Palapa menjual alat-alat band kepadanya tahun 1997.
Dinamika itu juga ditunjang dengan rilisnya berbagai zine, seperti Ujungberung Update yang khusus mengetengahkan kabar-kabar terbaru komunitas musik metal bawah tanah Ujungberung, Bandung, dan dunia. Setelah Ujungberung Update, lahir Crypt from the Abyss yang diasuh oleh Opick Dead, gitaris Sacrilegious yang khusus memuat kabar dari musik black metal, Loud n` Freaks yang diasuh oleh Toto yang khusus memuat kabar dari scene hardcore dan punk rock, serta The Evening Sun yang diasuh Dandan sang drummer Jasad yang menyuguhkan kabar-kabar mengenai scene music gothic-metal.
Zine yang terus bergerak hingga kini adalah Rottrevore yang diasuh oleh Rio serta Ferly, gitaris Jasad. Zine ini merupakan media propaganda musik metal. Belakangan, Rottrevore berkembang menjadi perusahaan rekaman khusus musik metal. Rottrevore dimiliki grinder Jakarta, Rio, tapi dikelola oleh anak-anak Ujungberung Rebels. Saat itu, komunitas Ujungberung Rebels berkembang semakin besar.Tempaan para pionir kepada komunitasnya tak kenal henti. Mereka juga membina kru yang terdiri dari teknisi, engineer, hingga semacam "pasukan tempur" khusus yang berani memasang badan jika terjadi bentrokan dengan preman-preman. "Pasukan tempur" itu dinamakan Baby Riots dan dipimpin oleh Butchex, vokalis band The Cruels. Belakangan, setelah situasi semakin kondusif, Baby Riots diarahkan menjadi kru yang khusus menangani masalah keamanan event-event yang digelar Ujungberung Rebels.
"Achievements dan Events"
Didukung kru yang solid, musikalitas para musisi Ujungberung semakin tak terbendung. Berbagai rekaman dirilis di komunitas ini dan mewarnai dinamika pergerakan musik metal bawah tanah di Indonesia. Beberapa band sempat dirilis di luar negeri, seperti Jasad yang dirilis di Amerika dan Forgotten di Jerman dan Eropa Timur.
Pencapaian fenomenal lainnya jelas diraih Burgerkill yang kemudian menjebol label besar, Sony Music Indonesia untuk kontrak enam album, sekaligus mendapatkan penghargaan prestisius di bidang musik dalam ajang Anugerah Musik Indonesia 2004 dengan menyabet kategori Best Metal Production untuk albumnya "Berkarat". Belakangan, Burgerkill meninggalkan label besar mereka setelah merasa tak bisa lagi jalan bersama.
Ini pula yang menjadi titik lahirnya label Revolt! Records yang menaungi album ketiga Burgerkill, "Beyond Coma and Despair". Album ini sangat sukses dan fenomenal dalam pencapaian Burgerkill dan jelas komunitas Ujungberung Rebels. Berbagai kritik positif dan penghargaan datang menyambut album ini. Terakhir, "Beyond Coma and Despair" dinobatkan majalah Rolling Stone sebagai salah satu dari 150 album sepanjang masa di Indonesia. Burgerkill memang layak mendapatkan itu, setelah sebelumnya mereka membayar dengan harga yang tak terhingga, meninggalnya sang vokalis, Ivan Scumbag.
Kuatnya para musisi Ujungberung dalam memegang prinsip membuat komunitas ini tetap hidup dan dinamis hingga sekarang. Idealisme itu kemudian mereka manifestasikan dalam pergelaran-pergelaran musik yang mereka garap sendiri dan pada akhirnya membuaka ruang juga untuk musisi-musisi di luar Ujungberung untuk ikut berpartisipasi dalam dinamika Ujungberung Rebels.
Tiga pergelaran musik yang khas Ujungberung Rebels selain event legendaris Bandung Berisik, adalah Rebel Fest, Rottrevore Death Fest, dan Death Fest. Yang menarik, dari pergelaran ini adalah fakta bahwa pergelaran menjadi salah satu ajang regenerasi komunitas Ujungberung Rebels.
Selain itu, anak-anak Ujungberung menjadikan pergelaran mereka sebagai ajang mempertunjukan kesenian tradisional sebagai pembuka atau penutup acara. Salah satunya adalah kesenian debus yang ditanggap anak-anak Ujungberung di ajang Death Fest II tahun 2007 ketika mereka bersinergi dengan komunitas Sunda Underground. Yang paling mengagumkan dari pergelaran yang digelar anak-anak Ujungberung adalah prestasi mereka mengumpulkan 25.000 penonton dalam acara Bandung Berisik IV di Stadion Persib, Bandung tahun 2004. Pencapaian ini diklaim memecahkan rekor pergelaran musik bawah tanah terbesar se-Asia oleh majalah Time Asia.
Ekonomi kreatif
Dinamika pergerakan Ujungberung Rebels merambah juga sektor perekonomian. Kini, setidaknya ada tiga lahan garapan ekonomi kreatif yang berkembang di komunitas Ujungberung Rebels, yaitu fashion, rekaman, dan literasi. Setidaknya ada enam industri fashion yang digagas para pentolan Ujungberung Rebels, mulai dari Media Graph dan distro Chronic Rock yang dijalankan Eben, Distribute yang dijalankan Pey, Reek yang dijalankan Ferly dan Man, Melted yang dijalankan Amenk dan Andris, CV Mus yang dijalankan Mbie, serta Scumbag Premium Throath.
Di industri rekaman, Ujungberung memiliki dua perusahaan rekaman, Rottrevore Records yang dijalankan Rio dan Ferly serta Revolt! Records yang dijalankan Eben. Sementara itu, di dunia literasi ada Iit dengan toko buku Omuniuum-nya serta Kimung dengan zine MinorBacaanKecil dan penerbitan Minor Books yang menerbitkan biografi Ivan, Myself: Scumbag Beyond Life and Death, sebuah buku fenomenal, bagian dari trilogi sejarah Ujungberung Rebels dan Bandung Underground.
Tentu selain tiga lahan garapan tersebut masih banyak yang lainnya seperti bisnis warnet, toko musik, dan sentra kuliner. Semua lahan garapan pentolan-pentolan anak-anak Ujungberung Rebels tersebut jelas membuka lebar perbaikan perekonomian minimal di kalangan internal komunitas Ujungberung Rebels.
Segala pencapaian itu tak datang dengan sendirinya. Daya konsistensi yang tinggi dan idealisme yang teguh digenggam satu tangan, sementara tangan yang lain menghajar jalanan dengan senjata kreativitas adalah kuncinya. Di atas segalanya, keteguhan prinsip, panceg dina jalur, tidak gamang menghadapi perubahan juga berperan sangat dalam. Segala pencapaian itu harus dikelola dengan sinergi yang positif di antara lahan-lahan garapan kreativitas sehingga akan terus berkembang dan pada gilirannya menyumbangkan hal positif bagi masyarakat kebanyakan. Sebuah sentra bisnis dan pusat pengembangan budaya di Ujungberung pasti akan menjadi wadah yang menampung segala aspirasi dan hasil kreativitas mereka menuju totalitas yang paling maksimal.
Minimal gedung konser yang di dalamnya terdapat juga youth center, dan pusat dokumentasi dan pengembangan riset sosial budaya yang memadai. Berangan-angan? Tidak juga! Panceg dina jalur!


sumber : matabumi.com

Myself, Scumbag – Kimung


Minor Books 2007

Saya rasa sebagian besar dari kamu tentunya sudah membeli buku ini, walaupun mungkin sebagian besar belum dibaca. Bagi kamu yang belum punya, buku ini adalah buku wajib yang mencatat sebuah fragmen sejarah perkembangan musik underground di Ujungberung, Bandung. Buku ini bahkan adalah salah satu buku-buku pertama yang berhasil mendokumentasikan sebuah kebudayaan subkultur modern lokal, more to come, I hope.

Sosok yang mengikat dan menjiwai dalam buku ini adalah Ivan Firmansyah, atau lebih dikenal dengan Ivan Scumbag, vokalis dari band hardcore-metal yang legedaris di scene underground lokal, Burgerkill. Seperti yang diakui oleh penulisnya, Kimung, seorang teman dekat dan sesama pendiri Burgerkill, membuat biografi ini berarti juga menuliskan sejarah perkembangan musik underground lokal di Ujungberung dan Bandung serta sejarah Burgerkill, dimana Ivan berkarir sampai pada akhir hayatnya.

Suasana kemuraman dan emosional dari penulis, para karakter yang terlibat serta Ivan sendiri dapat tercermin dengan jelas sampai akhir buku ini, membuat kita merasakan kedekatan dan ikatan kepada Ivan dan bandnya Burgerkill. Segudang cerita dari sosok tersebut, dari kehidupan pribadinya, kehidupan cintanya, perjuangannya, dan kecintaannya terhadap musik sebagai hidupnya termuat secara mendetail dan lengkap di dalam buku ini. Sangat padat malahan, sehingga seringkali terasa melelahkan, padahal mungkin cerita-cerita tersebut dapat distrukturkan ke dalam bagian-bagian yang lebih singkat.

Buku ini juga dengan baik menceritakan kejadian-kejadian sebenarnya di belakang Burgerkill yang tercemar dengan mitos dan gosip underground. Kelebihan lain dalam buku ini adalah kejujuran dimana drugs, sebuah aspek yang lekat dengan Ivan dipaparkan dengan gamblang, an inconvinient truth bagi kamu yang berada di sisi lain, dan mungkin tulisan “Based on true story” tidak perlu ada di cover, karena ini memang biografi sesungguhnya.

Harus diakui memang biografi ini bukanlah biografi yang inspiratif ataupun manipulatif, tetapi biografi ini membantu kita untuk lebih mengerti sebuah kondisi yang ada di masyarakat kita, di scene underground, yang sayangnya sering kali diacuhkan oleh publik awam.

Mengingat bahwa buku ini sangat erat dengan musik, mungkin akan lebih baik jika memang ada rekaman lagu-lagu yang dideskripsikan di buku ini, lebih kontekstual daripada “songlit” yang ada di rak bacaan dewasa muda di toko buku besar. Saya sangat mengharapkan agar ini dapat terwujud, mungkin dalam bentuk mix-tape atau semacamnya, dan saya yakin hal seperti ini sangat bisa diusahakan.

Overall, buku ini menyadarkan betapa dekat dan besarnya pengaruh Ivan di kalangan pelaku scene underground Bandung khususnya, dan semoga buku ini dapat memacu hasil-hasil yang produktif di masa depan.

Ryan Koesuma, Deathrockstar.info – November 2007

Senin, 26 Oktober 2009

Stories of The PUNK

Stories of The PUNK

Dari tahun ke tahun, musik punk terus mengalami perubahan bentuk. Yang ngak berubah adalah semangat pemberontakannya. Pantas nggak Greeen Day disejajarkan dengan Sex Pistols, atau The Ramones? Gimana sejarahnya punk.
Kalau melihat band-band punk sekarang, yang kebanyakan anggotanya masih muda, ga’ nyangka deh.. bahwa aliran musik yang satu ini umurnya sebaya dengan Billie Joe Armstrong. Malah kalau dirunut, cikal bakalnya sudah ada sejak orang tua kita masih imut-imut. Padahal citra punk kan serba muda.

Punk sebetulnya punya dasar sikap yang sama dengan musik rock n’roll waktu lahir tahun 1955 dulu musik yang menjadi milik pribadi generasi muda yang memberontak terhadap kemapanan, yang di jamin bakal dijauhin dan disebelin para orang tua. Waktu rock mulai kehilangan greget dan dianggap jadi monoton, mulailah ada kasak-kusuk untuk bikin jenis musik baru yang ekstrim sebagai reaksi melawan kejenuhan tadi. Dari keresahan itulah aliran punk lahir.

Tidak seperti heavymetal misalnya, punk lebih mengutamakan pelampiasan energi dan curhat daripada aspek teknis bermain musik. Pokoknya nggak usah jago-jago amat, pokoknya oke dan yang namanya unek-unek bisa keluar. Asal tahu aja, almarhum Sid Vicious dari Sex Pistols itu terkenal nggak bisa main. Tapi orang toh nggak memandang remeh dia. Malah dianggap cool.

Nah, kelonggaran inilah yang menjadi daya tarik utama bagi para pemusik aliran ini. Mereka kebanyakan mulai dengan menonton band punk lain, kemudian mikir ini sih gampang, gue juga bisa. Lantas mereka pun ngumpul bareng, bikin lagu sendiri, dan berdiri deh satu band baru. Lantas kalau ternyata ada banyak band sealiran terpusat di satu lokasi atau kota, timbulllah apa yang disebut scene. Isinya ya orang-orang yang punya minat dan pandangan yang serupa, yang hobi nonton konser grup-grup lokal dan mendukung mereka, entah jadi promotor, bikin majalah (lazimnya disebut fanzine), mendirikan sebuah perusahaan rekaman kecil-kecilan untuk merilis single atau album grup-grup tersebut tersebut, atau sekedar rajin ikutan nongkrong. Lazimnya mereka ini saling kenal satu sama lain, dan yang aktif ya orangnya itu-itu lagi. Malah nggak jarang beberapa profesi di atas itu dirangkap oleh satu orang. Tangannya lebih dari dua kali !

Nah, sejak lahirnya, gerakan punk merupakan rangkaian scene demi scene yang bermunculan di berbagai penjuru yang masing-masing memiliki ciri khas tersendiri. Makanya, sejarah punk lebih enak diulas dengan membahas beberapa scene yang paling menonjol, satu demi satu.

Sampai tahun 1950-an, jarang ada artis atau grup yang memainkan alat musik sendiri. Mereka biasanya cuma mengurusi masalah vokal, sedangkan urusan penulisan lagu dan memainkan instrumen biasanya dipercayakan kepada para ahlinya. Grup-grup vokal di masa itu praktis menurut saja pada kemauan perusahaan rekaman mereka.

Lantas pada tahun 1964, terjadi serbuan besar-besaran grup asal Inggris ke Amerika. Biang keladinya siapa lagi kalo bukan The Beatles. Melihat trend baru ini, remaja Amrik pun sadar bahwa sebuah grup sanggup mengerjakan semuanya sendiri.

Maka di berbagai pelosok Amerika, anak-anak sekolah pun mulai membentuk band dan latihan di garasi rumah mereka sendiri. Karena mereka baru belajar, musiknya pun nggak bisa yang susah-susah amat. Mereka cenderung belajar dari grup-grup yang alirannya simple tapi nge-rock, macam Rolling Stones, The Who sampai Yardbirs, yang musiknya lebih menitik beratkan pada riff dan power, bukan struktur lagu yang njelimet.

Maka ketika mereka pada gilirannya mulai menulis lagu sendiri, musik mereka mempunyai ciri khas sederhana tapi kenceng atau berpower, biasanya dengan satu riff gitar yang di ulang-ulang. Tapi meski bentuknya masih primitif, musik yang mereka ciptakan mampu menggugah semangat pendengar. Sesuai dengan tempat kelahirannya, orang memberi julukan untuk warna musik ini: Garage Rock (Rock Garasi).

Grup-grup yang lahir contohnya The Standells, The Seeds, The Music Machine, The Leaves, dll. Dan dari sini lahirlah sound yang selanjutnya berkembang jadi Punk Rock.

Memasuki dekade 70-an, punk mulai menemukan bentuknya seperti yang kita kenal sekarang. Ciri pemberontakannya makin kentara, dan segala rupa aksi panggung yang ugal-ugalan pun mulai muncul. Dari generasi pelopor punk ini ada dua nama yang boleh disebut paling menonjol yaitu MC 5 dan Iggy and The Stooges.

Iggy adalah salah satu dari segelintir pentolan punk yang kiprahnya masih berlanjut sampai dasawarsa 90-an. Dan seiring dengan lahirnya generasi baru punk rock, namanya pun makin diakui sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh dalam musik rock pada umumnya, punk khususnya.

Tahun 1975 lahirlah beberapa grup musik baru seperti Blondie yang ngepop, Talkin Heads yang Avant Garde, The Voidoids yang berkutat dengan gitar, dan The Dead Boys yang nyeleneh. Dan ada The Ramones.

Ramones punya citra seperti tokoh kartun. Empat anak jalanan asal Queens yang tampil gahar dengan dengan jaket kulit dan jeans belel, seperti geng. Gerombolan ini pancang mitos bahwa mereka satu keluarga. Pada tanggal 4 Juli 1976, Ramones mengadakan konser perdananya di Inggris. Entah itu tanggal keramat atau apa, konser mereka meninggalkan bekas yang dalam dalam diri kaum muda Inggris yang menyaksikannya. Konser itu disaksikan oleh para pentolan grup yang belakangan memotori kebangkitan punk di Inggris. Yaitu The Sex Pistols, The Damned, dan The Clash.

Sex Pistols dan The Clash memasukkan aspek baru dalam perkembangan punk, yaitu protes sosial dan politik. Kedua grup ini menjadi penyambung lidah kaum muda Inggris yang frustasi. Mulailah mereka menyuarakan protes terhadap segala ketidakadilan yang mereka lihat sehari-hari. Cuma saja pendekatan mereka berbeda, sesuai latar belakang kehidupan masing-masing.

Di tahun 1980-an, sementara era punk di Inggris datang dan pergi, dampaknya mulai terasa di berbagai penjuru dunia. Banyak negara yang menjawab tantangan Inggris dengan mencetak grup-grup punk yang belakangan juga menjadi legenda setempat. Irlandia, misalnya punya The Understones. Australia ada The Saints. Dan Selandia Baru muncul nama The Clean.

Di Amerika gelombang terbaru pemusik punk AS bukan berasal dari New York, melainkan California. Generasi ini mendapat pengaruh yang sama besar dari The Ramones dan Sex Pistols. Tapi agak lain dengan ke dua mentornya itu, mereka sangat serius menghayati prinsip-prinsip dasar punk. Bagi mereka punk bukan sekedar aliran musik, melainkan juga identitas, gaya hidup, bahkan juga gaya hidup bahkan prinsip.

Di selatan LA, tepatnya di Hermosa Beach, sebuah kelompok punk metal baru bernama Black Flag bela-belain nyewa gereja sebagai tempat latihan mereka. Tempat ini selanjutnya menjadi pusat kegiatan pecinta punk setempat. Grup-grup yang lahir disini lebih berhaluan keras daripada yang di Hollywood. Penampilan lebih brutal, dan liriknya lebih radikal. Disini lahirlah The Circle Jerk, Social Distortion, Suicidal Tendencies, dll.

Sementara di San Francisco aliran punk lebih berpolitik. Di sini lahir nama-nama macam The Avengers, The Dils, dan yang paling dominan The Dead Kennedys. DK melancarkan protes keras terhadap berbagai hal mulai dari kebijaksanaan pemerintah sampai fasisme. Musik mereka berada di perbatasan antara punk yang melodius dan hardcore murni.

New York juga melahirkan grup-grup yang belakangan memeperkaya musiknya dengan unsur lain, seperti Beasty Boys dan Sonic Youth. Dan ada juga The Misfits, yang mengungsi dari New Jersey.

Pada akhir tahun 1980-an benih kebangkitan generasi kedua mulai ditanam di LA. Dulu sekali, awal dasawarsa ini, di San Fernando pernah berdiri sebuah grup band bernama Bad Religion. Kenggulan BR antara lain karena personilnya rata-rata memang “ngotak”. Saking inteleknya , lagu mereka sering memakai kata-kata yang membuat orang Amerika aja harus buka kamus.

Bad Religion merupakan band yang memelopori berdirinya generasi baru grup-grup punk California. Sebut aja macam Dag Nasty, Pennywise, NOFX, dan belakangan tentu saja Rancid dan Offspring.

Album Offspring Smash pada tahun 1995 mencatat rekor sebagai album independen paling laris dalam sejarah. Sementara Rancid juga mencatat angka penjualan yang sangat tinggi.

Punk telah berhasil membuktikan kemandiriannya
Dan ini lah contoh perkembangan musik punk di indonesia
Rosemary-Miracle

Little “Underground Music History”

A Little “Underground Music History” In Indonesia

(CP from : Wahyudi Pratama)

Saya mencoba menyelamatkan sebuah arsip menarik yang penting tentang runutan sejarah perkembangan musik Rock Di Tanah Air. Untuk referensi dan sumber yang saya dapatkan dari hasil Googling ternyata berada dalam arsip mail seseorang. Silakan nikmati, niscaya anda akan seperti saya, yang terkaget-kaget membacanya.

Awal Mula

Embrio kelahiran scene musik rock underground di Indonesia sulit dilepaskan dari evolusi rocker-rocker pionir era 70-an sebagai pendahulunya. Sebut saja misalnya God Bless, Gang Pegangsaan, Gypsy(Jakarta), Giant Step, Super Kid (Bandung), Terncem (Solo), AKA/SAS (Surabaya), Bentoel (Malang) hingga Rawe Rontek dari Banten. Mereka inilah generasi pertama rocker Indonesia. Istilah underground sendiri sebenarnya sudah digunakan Majalah Aktuil sejak awal era 70- an. Istilah tersebut digunakan majalah musik dan gaya hidup pionir asal Bandung itu untuk mengidentifikasi band-band yang memainkan musik keras dengan gaya yang lebih `liar’ dan `ekstrem’ untuk ukuran jamannya. Padahal kalau mau jujur, lagu-lagu yang dimainkan band- band tersebut di atas bukanlah lagu karya mereka sendiri, melainkan milik band-band luar negeri macam Deep Purple, Jefferson Airplane, Black Sabbath, Genesis, Led Zeppelin, Kansas, Rolling Stones hingga ELP. Tradisi yang kontraproduktif ini kemudian mencatat sejarah
namanya sempat mengharum di pentas nasional. Sebut saja misalnya El Pamas, Grass Rock (Malang), Power Metal (Surabaya), Adi Metal Rock (Solo), Val Halla (Medan) hingga Roxx (Jakarta). Selain itu Log jugalah yang membidani lahirnya label rekaman rock yang pertama di Indonesia, Logiss Records. Produk pertama label ini adalah album
ketiga God Bless, “Semut Hitam” yang dirilis tahun 1988 dan ludes hingga 400.000 kaset di seluruh Indonesia.

Menjelang akhir era 80-an, di seluruh dunia waktu itu anak-anak muda sedang mengalami demam musik thrash metal. Sebuah perkembangan style musik metal yang lebih ekstrem lagi dibandingkan heavy metal. Band- band yang menjadi gods-nya antara lain Slayer, Metallica, Exodus, Megadeth, Kreator, Sodom, Anthrax hingga Sepultura. Kebanyakan kota- kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Surabaya, Malang hingga Bali, scene undergroundnya pertama kali lahir dari genre musik ekstrem tersebut. Di Jakarta sendiri komunitas metal pertama kali tampil di depan publik pada awal tahun 1988. Komunitas anak metal (saat itu istilah underground belum populer) ini biasa hang out di Pid Pub, sebuah pub kecil di kawasan pertokoan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Menurut Krisna J. Sadrach, frontman Sucker Head, selain nongkrong, anak-anak yang hang out di sana oleh Tante Esther, owner Pid Pub, diberi kesempatan untuk bisa manggung di sana. Setiap malam minggu biasanya selalu ada live show dari band-band baru di Pid Pub dan kebanyakan band-band tersebut mengusung musik rock atau metal.

Band-band yang sering hang out di scene Pid Pub ini antara lain Roxx (Metallica & Anthrax), Sucker Head (Kreator & Sepultura), Commotion Of Resources (Exodus), Painfull Death, Rotor (Kreator), Razzle (GN’R), Parau (DRI & MOD), Jenazah, Mortus hingga Alien Scream (Obituary). Beberapa band diatas pada perjalanan berikutnya banyak yang membelah diri menjadi band-band baru. Commotion Of Resources adalah cikal bakal band gothic metal Getah, sedangkan Parau adalah embrio band death metal lawas Alien Scream. Selain itu Oddie, vokalis Painfull Death selanjutnya membentuk grup industrial Sic Mynded di Amerika Serikat bersama Rudi Soedjarwo (sutradara Ada Apa Dengan Cinta?). Rotor sendiri dibentuk pada tahun 1992 setelah cabutnya gitaris Sucker Head, Irvan Sembiring yang merasa konsep musik Sucker Head saat itu masih kurang ekstrem baginya.

Semangat yang dibawa para pendahulu ini memang masih berkutat pola tradisi `sekolah lama’, bangga menjadi band cover version! Di antara mereka semua, hanya Roxx yang beruntung bisa rekaman untuk single pertama mereka, “Rock Bergema”. Ini terjadi karena mereka adalah salah satu finalis Festival Rock Se-Indonesia ke-V. Mendapat kontrak rekaman dari label adalah obsesi yang terlalu muluk saat itu. Jangankan rekaman, demo rekaman bisa diputar di radio saja mereka sudah bahagia. Saat itu stasiun radio yang rutin mengudarakan musik- musik rock/metal adalah Radio Bahama, Radio Metro Jaya dan Radio SK. Dari beberapa radio tersebut mungkin yang paling legendaris adalah Radio Mustang. Mereka punya program bernama Rock N’ Rhythm yang
mengudara setiap Rabu malam dari pukul 19.00 – 21.00 WIB. Stasiun radio ini bahkan sempat disatroni langsung oleh dedengkot thrash metal Brasil, Sepultura, kala mereka datang ke Jakarta bulan Juni 1992. Selain medium radio, media massa yang kerap mengulas berita- berita rock/metal pada waktu itu hanya Majalah HAI, Tabloid Citra Musik dan Majalah Vista.

Selain hang out di Pid Pub tiap akhir pekan, anak-anak metal ini sehari-harinya nongkrong di pelataran Apotik Retna yang terletak di daerah Cilandak, Jakarta Selatan. Beberapa selebritis muda yang dulu sempat nongkrong bareng (groupies?) anak-anak metal ini antara lain Ayu Azhari, Cornelia Agatha, Sophia Latjuba, Karina Suwandi hingga Krisdayanti. Aktris Ayu Azhari sendiri bahkan sempat dipersunting sebagai istri oleh (alm) Jodhie Gondokusumo yang merupakan vokalis Getah dan juga
mantan vokalis Rotor.

Tak seberapa jauh dari Apotik Retna, lokasi lain yang sering dijadikan lokasi rehearsal adalah Studio One Feel yang merupakan studio latihan paling legendaris dan bisa dibilang hampir semua band- band rock/metal lawas ibukota pernah rutin berlatih di sini. Selain Pid Pub, venue alternatif tempat band-band rock underground
manggung pada masa itu adalah Black Hole dan restoran Manari Open Air di Museum Satria Mandala (cikal bakal Poster Café). Diluar itu, pentas seni MA dan acara musik kampus sering kali pula di “infiltrasi” oleh band-band metal tersebut. Beberapa pensi yang historikal di antaranya adalah Pamsos (SMA 6 Bulungan), PL Fair (SMA
Pangudi Luhur), Kresikars (SMA 82), acara musik kampus Universitas
Nasional (Pejaten), Universitas Gunadarma, Universitas Indonesia (Depok), Unika Atmajaya Jakarta, Institut Teknologi Indonesia (Serpong) hingga Universitas Jayabaya (Pulomas).

Berkonsernya dua supergrup metal internasional di Indonesia, Sepultura (1992) dan Metallica (1993) memberi kontribusi cukup besar bagi perkembangan band-band metal sejenis di Indonesia. Tak berapa lama setelah Sepultura sukses “membakar” Jakarta dan Surabaya, band speed metal Roxx merilis album debut self-titled mereka di bawah
label Blackboard. Album kaset ini kelak menjadi salah satu album speed metal klasik Indonesia era 90-an. Hal yang sama dialami pula oleh Rotor. Sukses membuka konser fenomenal Metallica selama dua hari berturut-turut di Stadion Lebak Bulus, Rotor lantas merilis album thrash metal major labelnya yang pertama di Indonesia, Behind The 8th Ball (AIRO). Bermodalkan rekomendasi dari manajer tur Metallica dan honor 30 juta rupiah hasil dua kali membuka konser Metallica, para personel Rotor (minus drummer Bakkar Bufthaim) lantas eksodus ke negeri Paman Sam untuk mengadu nasib. Sucker Head sendiri tercatat paling telat dalam merilis album debut dibanding band
seangkatan mereka lainnya. Setelah dikontrak major label lokal, Aquarius
Musikindo, baru di awal 1995 mereka merilis album `The Head Sucker’. Hingga kini Sucker Head tercatat sudah merilis empat buah album.

Dari sedemikian panjangnya perjalanan rock underground di tanah air, mungkin baru di paruh pertama dekade 90-anlah mulai banyak terbentuk scene-scene underground dalam arti sebenarnya di Indonesia. Di Jakarta sendiri konsolidasi scene metal secara masif berpusat di Blok M sekitar awal 1995. Kala itu sebagian anak-anak metal sering
terlihat nongkrong di lantai 6 game center Blok M Plaza dan di sebuah resto waralaba terkenal di sana. Aktifitas mereka selain hang out adalah bertukar informasi tentang band-band lokal daninternasional, barter CD, jual-beli t-shirt metal hingga merencanakan pengorganisiran konser. Sebagian lagi yang lainnya memilih hang out di basement Blok Mall yang kebetulan letaknya berada di bawah tanah.

Pada era ini hype musik metal yang masif digandrungi adalah subgenre yang makin ekstrem yaitu death metal, brutal death metal, grindcore, black metal hingga gothic/doom metal. Beberapa band yang makin mengkilap namanya di era ini adalah Grausig, Trauma, Aaarghhh, Tengkorak, Delirium Tremens, Corporation of Bleeding, Adaptor, Betrayer, Sadistis, Godzilla dan sebagainya. Band grindcore Tengkorak pada tahun 1996 malah tercatat sebagai band yang pertama kali merilis mini album secara independen di Jakarta dengan judul `It’s A Proud To Vomit Him’. Album ini direkam secara profesional di Studio Triple M, Jakarta dengan sound engineer Harry Widodo (sebelumnya pernah menangani album Roxx, Rotor, Koil, Puppen dan PAS).

Tahun 1996 juga sempat mencatat kelahiran fanzine musik underground pertama di Jakarta, Brainwashed zine. Edisi pertama Brainwashed terbit 24 halaman dengan menampilkan cover Grausig dan profil band Trauma, Betrayer serta Delirium Tremens. Di ketik di komputer berbasis system operasi Windows 3.1 dan lay-out cut n’ paste tradisional, Brainwashed kemudian diperbanyak 100 eksemplar dengan mesin foto kopi milik saudara penulis sendiri. Di edisi-edisi berikutnya Brainwashed mengulas pula band-band hardcore, punk bahkan ska. Setelah terbit fotokopian hingga empat edisi, di tahun 1997 Brainwashed sempat dicetak ala majalah profesional dengan cover
penuh warna. Hingga tahun 1999 Brainwashed hanya kuat terbit hingga tujuh edisi, sebelum akhirnya di tahun 2000 penulis menggagas format e-zine di internet (www.bisik.com). Media-media serupa yang selanjutnya lebih konsisten terbit di Jakarta antara lain Morbid Noise zine, Gerilya zine, Rottrevore zine, Cosmic zine dan
sebagainya.

29 September 1996 menandakan dimulainya sebuah era baru bagi perkembangan rock underground di Jakarta. Tepat pada hari itulah digelar acara musik indie untuk pertama kalinya di Poster Café. Acara bernama “Underground Session” ini digelar tiap dua minggu sekali pada malam hari kerja. Café legendaris yang dimiliki rocker gaek
Ahmad Albar ini banyak melahirkan dan membesarkan scene musik indie baru yang memainkan genre musik berbeda dan lebih variatif. Lahirnya scene Brit/indie pop, ledakan musik ska yang fenomenal era 1997 – 2000 sampai tawuran massal bersejarah antara sebagian kecil massa Jakarta dengan Bandung terjadi juga di tempat ini. Getah,
Brain The Machine, Stepforward, Dead Pits, Bloody Gore, Straight Answer, Frontside, RU Sucks, Fudge, Jun Fan Gung Foo, Be Quiet, Bandempo, Kindergarten, RGB, Burning Inside, Sixtols, Looserz, HIV, Planet Bumi, Rumahsakit, Fable, Jepit Rambut, Naif, Toilet Sounds, Agus Sasongko & FSOP adalah sebagian kecil band-band yang `kenyang’ manggung di sana.

10 Maret 1999 adalah hari kematian scene Poster Café untuk selama- lamanya. Pada hari itu untuk terakhir kalinya diadakan acara musik di sana (Subnormal Revolution) yang berujung kerusuhan besar antara massa punk dengan warga sekitar hingga berdampak hancurnya beberapa mobil dan unjuk giginya aparat kepolisian dalam membubarkan massa. Bubarnya Poster Café diluar dugaan malah banyak melahirkan venue- venue alternatif bagi masing-masing scene musik indie. Café Kupu- Kupu di Bulungan sering digunakan scene musik ska, Pondok Indah Waterpark, GM 2000 café dan Café Gueni di Cikini untuk scene Brit/indie pop, Parkit De Javu Club di Menteng untuk gigs punk/hardcore dan juga indie pop. Belakangan BB’s Bar yang super- sempit di Menteng sering disewa untuk acara garage rock-new wave-mellow punk juga rock yang kini sedang hot, seperti The Upstairs, Seringai, The Brandals, C’mon Lennon, Killed By Butterfly, Sajama Cut,
Devotion dan banyak lagi. Di antara semuanya, mungkin yang paling `netral’ dan digunakan lintas-scene cuma Nirvana Café yangterletak di basement Hotel Maharadja, Jakarta Selatan. Di tempat ini pulalah, 13 Januari 2002 silam, Puppen `menghabisi riwayat’ mereka dalam sebuah konser bersejarah yang berjudul, “Puppen : Last Show Ever”, sebuah rentetan show akhir band Bandung ini sebelum membubarkan diri.

Scene Punk/Hardcore/Brit/Indie Pop

Invasi musik grunge/alternative dan dirilisnya album Kiss This dari Sex Pistols pada tahun 1992 ternyata cukup menjadi trigger yang ampuh dalam melahirkan band-band baru yang tidak memainkan musik metal. Misalnya saja band Pestol Aer dari komunitas Young Offender yang diawal kiprahnya sering meng-cover lagu-lagu Sex Pistols lengkap dengan dress-up punk dan haircut mohawknya. Uniknya, pada perjalanan selanjutnya, sekitar tahun 1994, Pestol Aer kemudian mengubah arah musik mereka menjadi band yang mengusung genre british/indie pop ala The Stone Roses. Konon, peristiwa historik ini
kemudian menjadi momen yang cukup signifikan bagi perkembangan scene british/indie pop di Jakarta. Sebelum bubar, di pertengahan 1997 mereka sempat merilis album debut bertitel `…Jang Doeloe’. Generasi awal dari scene brit pop ini antara lain adalah band Rumahsakit, Wondergel, Planet Bumi, Orange, Jellyfish, Jepit Rambut, Room-V,
Parklife hingga Death Goes To The Disco.

Pestol Aer memang bukan band punk pertama, ibukota ini di tahun 1989 sempat melahirkan band punk/hardcore pionir Antiseptic yang kerap memainkan nomor-nomor milik Black Flag, The Misfits, DRI sampai Sex Pistols. Lukman (Waiting Room/The Superglad) dan Robin (Sucker Head/Noxa) adalah alumnus band ini juga. Selain sering manggung di Jakarta, Antiseptic juga sempat manggung di rockfest legendaris Bandung, Hullabaloo II pada akhir 1994. Album debut Antiseptic sendiri yang bertitel `Finally’ baru rilis delapan tahun kemudian (1997) secara D.I.Y. Ada juga band alternatif seperti Ocean yang memainkan musik ala Jane’s Addiction dan lainnya, sayangnya mereka tidak sempat merilis rekaman.

Selain itu, di awal 1990, Jakarta juga mencetak band punk rock The Idiots yang awalnya sering manggung meng-cover lagu-lagu The Exploited. Nggak jauh berbeda dengan Antiseptic, baru sembilan tahun kemudian The Idiots merilis album debut mereka yang bertitel `Living Comfort In Anarchy’ via label indie Movement Records. Komunitas-
komunitas punk/hardcore juga menjamur di Jakarta pada era 90-an tersebut. Selain komunitas Young Offender tadi, ada pula komunitas South Sex (SS) di kawasan Radio Dalam, Subnormal di Kelapa Gading, Semi-People di Duren Sawit, Brotherhood di Slipi, Locos di Blok M hingga SID Gank di Rawamangun.

Sementara rilisan klasik dari scene punk/hardcore Jakarta adalah album kompilasi Walk Together, Rock Together (Locos Enterprise) yang rilis awal 1997 dan memuat singel antara lain dari band Youth Against Fascism, Anti Septic, Straight Answer, Dirty Edge dan sebagainya. Album kompilasi punk/hardcore klasik lainnya adalah Still One, Still Proud (Movement Records) yang berisikan singel dari Sexy Pig, The Idiots, Cryptical Death hingga Out Of Control.

Bandung scene

Di Bandung sekitar awal 1994 terdapat studio musik legendaris yang menjadi cikal bakal scene rock underground di sana. Namanya Studio Reverse yang terletak di daerah Sukasenang. Pembentukan studio ini digagas oleh Richard Mutter (saat itu drummer PAS) dan Helvi. Ketika semakin berkembang Reverse lantas melebarkan sayap bisnisnya dengan
membuka distro (akronim dari distribution) yang menjual CD, kaset, poster, t-shirt, serta berbagai aksesoris import lainnya. Selain distro, Richard juga sempat membentuk label independen 40.1.24 yang rilisan pertamanya di tahun 1997 adalah kompilasi CD yang bertitel “Masaindahbangetsekalipisan.” Band-band indie yang ikut serta di kompilasi ini antara lain adalah Burger Kill, Puppen, Papi, Rotten To The Core, Full of Hate dan Waiting Room, sebagai satu- satunya band asal Jakarta.

Band-band yang sempat dibesarkan oleh komunitas Reverse ini antara lain PAS dan Puppen. PAS sendiri di tahun 1993 menorehkan sejarah sebagai band Indonesia yang pertama kali merilis album secara independen. Mini album mereka yang bertitel “Four Through The S.A.P” ludes terjual 5000 kaset dalam waktu yang cukup singkat. Mastermind yang melahirkan ide merilis album PAS secara independen tersebut adalah (alm) Samuel Marudut. Ia adalah Music Director Radio GMR, sebuah stasiun radio rock pertama di Indonesia yang kerap memutar demo-demo rekaman band-band rock amatir asal Bandung, Jakarta dan sekitarnya. Tragisnya, di awal 1995 Marudut ditemukan tewas tak bernyawa di kediaman Krisna Sucker Head di Jakarta. Yang mengejutkan, kematiannya ini, menurut Krisna, diiringi lagu The End dari album Best of The Doors yang diputarnya pada tape di kamar Krisna. Sementara itu Puppen yang dibentuk pada tahun 1992 adalah salah satu pionir hardcore lokal yang hingga akhir hayatnya di tahun 2002 sempat merilis tiga album yaitu, Not A Pup E.P. (1995), MK II (1998) dan Puppen s/t (2000). Kemudian menyusul Pure Saturday dengan albumnya yang self-titled. Album ini kemudian dibantu promosinya oleh Majalah Hai. Kubik juga mengalami hal yang sama, dengan cara bonus kaset 3 lagu sebelum rilis albumnya.

Agak ke timur, masih di Bandung juga, kita akan menemukan sebuah komunitas yang menjadi episentrum underground metal di sana, komunitas Ujung Berung. Dulunya di daerah ini sempat berdiri Studio Palapa yang banyak berjasa membesarkan band-band underground cadas macam Jasad, Forgotten, Sacrilegious, Sonic Torment, Morbus Corpse, Tympanic Membrane, Infamy, Burger Kill dan sebagainya. Di sinilah kemudian pada awal 1995 terbit fanzine musik pertama di Indonesia yang bernama Revograms Zine. Editornya Dinan, adalah vokalis band Sonic Torment yang memiliki single unik berjudul “Golok Berbicara”. Revograms Zine tercatat sempat tiga kali terbit dan kesemua materi isinya membahas band-band metal/hardcore lokal maupun internasional.

Kemudian taklama kemudian fanzine indie seperti Swirl, Tigabelas, Membakar Batas dan yang lainnya ikut meramaikan media indie. Ripple dan Trolley muncul sebagai majalah yang membahas kecenderungan subkultur Bandung dan jug lifestylenya. Trolley bangkrut tahun 2002, sementara Ripple berubah dari pocket magazine ke format majalah standar. Sementara fanzine yang umumnya fotokopian hingga kini masih terus eksis. Serunya di Bandung tak hanya musik ekstrim yang maju tapi juga scene indie popnya. Sejak Pure Saturday muncul, berbagai band indie pop atau alternatif, seperti Cherry Bombshell, Sieve, Nasi Putih hingga yang terkini seperti The Milo, Mocca, Homogenic. Begitu pula scene ska yang sebenarnya sudah ada jauh sebelum trend ska besar. Band seperti Noin Bullet dan Agent Skins sudah lama mengusung genre musik ini.

Siapapun yang pernah menyaksikan konser rock underground di Bandung pasti takkan melupakan GOR Saparua yang terkenal hingga ke berbagai pelosok tanah air. Bagi band-band indie, venue ini laksana gedung keramat yang penuh daya magis. Band luar Bandung manapun kalau belum di `baptis’ di sini belum afdhal rasanya. Artefak subkultur bawah tanah Bandung paling legendaris ini adalah saksi bisu digelarnya beberapa rock show fenomenal seperti Hullabaloo, Bandung Berisik hingga Bandung Underground. Jumlah penonton setiap acara-acara di atas tergolong spektakuler, antara 5000 – 7000 penonton! Tiket masuknya saja sampai diperjualbelikan dengan harga fantastis segala oleh para calo. Mungkin ini merupakan rekor tersendiri yang belum terpecahkan hingga saat ini di Indonesia untuk ukuran rock show underground.

Sempat dijuluki sebagai barometer rock underground di Indonesia, Bandung memang merupakan kota yang menawarkan sejuta gagasan-gagasan cerdas bagi kemajuan scene nasional. Booming distro yang melanda seluruh Indonesia saat ini juga dipelopori oleh kota ini. Keberhasilan menjual album indie hingga puluhan ribu keping yang dialami band Mocca juga berawal dari kota ini. Bahkan Burger Kill, band hardcore Indonesia yang pertama kali teken kontrak dengan major label, Sony Music Indonesia, juga dibesarkan di kota ini. Belum lagi majalah Trolley (RIP) dan Ripple yang seakan menjadi reinkarnasi Aktuil di jaman sekarang, tetap loyal memberikan porsi terbesar liputannya bagi band-band indie lokal keren macam Koil, Kubik, Balcony, The Bahamas, Blind To See, Rocket Rockers, The Milo, Teenage Death Star, Komunal hingga The S.I.G.I.T. Coba cek webzine Bandung, Death Rock Star (www.deathrockstar.tk) untuk membuktikannya. Asli, kota yang satu ini memang nggak ada matinya!

Scene Jogjakarta

Kota pelajar adalah julukan formalnya, tapi siapa sangka kalau kota ini ternyata juga menjadi salah satu scene rock underground terkuat di Indonesia? Well, mari kita telusuri sedikit sejarahnya. Komunitas metal underground Jogjakarta salah satunya adalah Jogja Corpsegrinder. Komunitas ini sempat menerbitkan fanzine metal Human Waste, majalah Megaton dan menggelar acara metal legendaris di sana, Jogja Brebeg. Hingga kini acara tersebut sudah terselenggara sepuluh kali! Band-band metal underground lawas dari kota ini antara lain Death Vomit, Mortal Scream, Impurity, Brutal Corpse, Mystis, Ruction.

Untuk scene punk/hardcore/industrial-nya yang bangkit sekitar awal 1997 tersebutlah nama Sabotage, Something Wrong, Noise For Violence, Black Boots, DOM 65, Teknoshit hingga yang paling terkini, Endank Soekamti. Sedangkan untuk scene indie rock/pop, beberapa nama yang patut di highlight adalah Seek Six Sick, Bangkutaman, Strawberry’s Pop sampai The Monophones. Selain itu, band ska paling keren yang pernah terlahir di Indonesia, Shaggy Dog, juga berasal dari kota ini. Shaggy Dog yang kini dikontrak EMI belakangan malah sedang asyik menggelar tur konser keliling Eropa selama 3 bulan! Kota gudeg ini tercatat juga pernah menggelar Parkinsound, sebuah festival musik elektronik yang pertama di Indonesia. Parkinsound #3 yang diselenggarakan tanggal 6 Juli 2001 silam di antaranya menampilkan Garden Of The Blind, Mock Me Not, Teknoshit, Fucktory, Melancholic Bitch hingga
Mesin Jahat.

Scene Surabaya

Scene underground rock di Surabaya bermula dengan semakin tumbuh-berkembangnya band-band independen beraliran death metal/grindcore sekitar pertengahan tahun 1995. Sejarah terbentuknya berawal dari event Surabaya Expo (semacam Jakarta Fair di DKI – Red) dimana band- band underground metal seperti, Slowdeath, Torture, Dry, Venduzor, Bushido manggung di sebuah acara musik di event tersebut.

Setelah event itu masing-masing band tersebut kemudian sepakat untuk mendirikan sebuah organisasi yang bernama Independen. Base camp dari organisasi yang tujuan dibentuknya sebagai wadah pemersatu serta sarana sosialisasi informasi antar musisi/band underground metal ini waktu itu dipusatkan di daerah Ngagel Mulyo atau tepatnya di studio milik band Retri Beauty (band death metal dengan semua personelnya cewek, kini RIP – Red). Anggota dari organisasi yang merupakan cikal bakal terbentuknya scene underground metal di Surabaya ini memang sengaja dibatasi hanya sekitar 7-10 band saja.

Rencana pertama Independen waktu itu adalah menggelar konser underground rock di Taman Remaja, namun rencana ini ternyata gagal karena kesibukan melakukan konsolidasi di dalam scene. Setelah semakin jelas dan mulai berkembangnya scene underground metal di Surabaya pada akhir bulan Desember 1997 organisasi Independen resmi dibubarkan. Upaya ini dilakukan demi memperluas jaringan agar semakin tidak tersekat-sekat atau menjadi terkotak-kotak komunitasnya.

Pada masa-masa terakhir sebelum bubarnya organisasi Independen, divisi record label mereka tercatat sempat merilis beberapa buah album milik band-band death metal/grindcore Surabaya. Misalnya debut album milik Slowdeath yang bertitel “From Mindless Enthusiasm to Sordid Self-Destruction” (September 96), debut album Dry berjudul “Under The Veil of Religion” (97), Brutal Torture “Carnal Abuse”, Wafat “Cemetery of Celerage” hingga debut album milik Fear Inside
yang bertitel “Mindestruction”. Tahun-tahun berikutnya barulah underground metal di Surabaya dibanjiri oleh rilisan-rilisan album milik Growl, Thandus, Holy Terror, Kendath hingga Pejah.

Sebagai ganti Independen kemudian dibentuklah Surabaya Underground Society (S.U.S) tepat di malam tahun baru 1997 di kampus Universitas 45, saat diselenggarakannya event AMUK I. Saat itu di Surabaya juga telah banyak bermunculan band-band baru dengan aliran musik black metal. Salah satu band death metal lama yaitu, Dry kemudian berpindah konsep musik seiring dengan derasnya pengaruh musik black metal di Surabaya kala itu.

Hanya bertahan kurang lebih beberapa bulan saja, S.U.S di tahun yang sama dilanda perpecahan di dalamnya. Band-band yang beraliran black metal kemudian berpisah untuk membentuk sebuah wadah baru bernama ARMY OF DARKNESS yang memiliki basis lokasi di daerah Karang Rejo. Berbeda dengan black metal, band-band death metal selanjutnya memutuskan tidak ikut membentuk organisasi baru. Selanjutnya di bulan September 1997 digelar event AMUK II di IKIP Surabaya. Event ini kemudian mencatat sejarah sendiri sebagai event paling sukses di Surabaya kala itu. 25 band death metal dan black metal tampil sejak pagi hingga sore hari dan ditonton oleh kurang lebih 800 – 1000 orang. Arwah, band black metal asal Bekasi juga turut tampil di even tersebut sebagai band undangan.

Scene ekstrem metal di Surabaya pada masa itu lebih banyak didominasi oleh band-band black metal dibandingkan band death metal/grindcore. Mereka juga lebih intens dalam menggelar event-event musik black metal karena banyaknya jumlah band black metal yang muncul. Tercatat kemudian event black metal yang sukses digelar di Surabaya seperti ARMY OF DARKNESS I dan II.

Tepat tanggal 1 Juni 1997 dibentuklah komunitas underground INFERNO 178 yang markasnya terletak di daerah Dharma Husada (Jl. Prof. DR. Moestopo,Red). Di tempat yang agak mirip dengan rumah-toko (Ruko) ini tercatat ada beberapa divisi usaha yaitu, distro, studio musik, indie label, fanzine, warnet dan event organizer untuk acara-acara underground di Surabaya. Event-event yang pernah di gelar oleh INFERNO 178 antara lain adalah, STOP THE MADNESS, TEGANGAN TINGGI I & II hingga BLUEKHUTUQ LIVE.

Band-band underground rock yang kini bernaung di bawah bendera INFERNO 178 antara lain, Slowdeath, The Sinners, Severe Carnage, System Sucks, Freecell, Bluekuthuq dan sebagainya. Fanzine metal asal komunitas INFERNO 178, Surabaya bernama POST MANGLED pertama kali terbit kala itu di event TEGANGAN TINGGI I di kampus Unair dengan tampilnya band-band punk rock dan metal. Acara ini tergolong kurang sukses karena pada waktu yang bersamaan juga digelar sebuah event black metal. Sayangnya, hal ini juga diikuti dengan mandegnya proses penggarapan POST MANGLED Zine yang tidak kunjung mengeluarkan edisinya yang terbaru hingga kini.

Maka, untuk mengantisipasi terjadinya stagnansi atau kesenjangan informasi di dalam scene, lahirlah kemudian GARIS KERAS Newsletter yang terbit pertama kali bulan Februari 1999. Newsletter dengan format fotokopian yang memiliki jumlah 4 halaman itu banyak mengulas berbagai aktivitas musik underground metal, punk hingga HC tak hanya di Surabaya saja tetapi lebih luas lagi. Respon positif pun menurut mereka lebih banyak datang justeru dari luar kota Surabaya itu sendiri. Entah mengapa, menurut mereka publik underground rock di Surabaya kurang apresiatif dan minim dukungannya terhadap publikasi independen macam fanzine atau newsletter tersebut. Hingga akhir hayatnya GARIS KERAS Newsletter telah menerbitkan edisinya hingga ke- 12.

Divisi indie label dari INFERNO 178 paling tidak hingga sekitar 10 rilisan album masih tetap menggunakan nama Independen sebagai nama label mereka. Baru memasuki tahun 2000 yang lalu label INFERNO 178 Productions resmi memproduksi album band punk tertua di Surabaya, The Sinners yang berjudul “Ajang Kebencian”. Selanjutnya label
INFERNO 178 ini akan lebih berkonsentrasi untuk merilis produk- produk berkategori non-metal. Sedangkan untuk label khusus death metal/brutal death/grindcore dibentuklah kemudian Bloody Pigs Records oleh Samir (kini gitaris TENGKORAK) dengan album kedua Slowdeath yang bertitel “Propaganda” sebagai proyek pertamanya yang dibarengi pula dengan menggelar konser promo tunggal Slowdeath di Café Flower sekitar bulan September 2000 lalu yang dihadiri oleh 150- an penonton. Album ini sempat mencatat sold out walau masih dalam jumlah terbatas saja. Ludes 200 keping tanpa sisa.

Scene Malang

Kota berhawa dingin yang ditempuh sekitar tiga jam perjalanan dari Surabaya ini ternyata memiliki scene rock underground yang “panas” sejak awal dekade 90-an. Tersebutlah nama Total Suffer Community(T.S.C) yang menjadi motor penggerak bagi kebangkitan komunitas rock underground di Malang sejak awal 1995. Anggota komunitas ini terdiri dari berbagai macam musisi lintas-scene, namun dominasinya tetap
saja anak-anak metal. Konser rock underground yang pertama kali digelar di kota Malang diorganisir pula oleh komunitas ini. Acara bertajuk Parade Musik Underground tersebut digelar di Gedung Sasana Asih YPAC pada tanggal 28 Juli 1996 dengan menampilkan band-band lokal Malang seperti Bangkai (grindcore), Ritual Orchestra (black metal),Sekarat (death metal), Knuckle Head (punk/hc), Grindpeace (industrial
death metal), No Man’s Land (punk), The Babies (punk) dan juga band-band asal Surabaya, Slowdeath (grindcore) serta The Sinners (punk).

Beberapa band Malang lainnya yang patut di beri kredit antara lain Keramat, Perish, Genital Giblets, Santhet dan tentunya Rotten Corpse. Band yang terakhir disebut malah menjadi pelopor style brutal death metal di Indonesia. Album debut mereka yang
bertitel “Maggot Sickness” saat itu menggemparkan scene metal di Jakarta, Bandung, Jogjakarta dan Bali karena komposisinya yang solid dan kualitas rekamannya yang top notch. Belakangan band ini pecah menjadi dua dan salah satu gitaris sekaligus pendirinya, Adyth, hijrah ke Bandung dan membentuk Disinfected. Di kota inilah lahir untuk kedua kalinya fanzine musik di Indonesia. Namanya Mindblast zine yang
diterbitkan oleh dua orang scenester, Afril dan Samack pada akhir 1995. Afril sendiri merupakan eks-vokalis band Grindpeace yang kini eksis di band crust-grind gawat, Extreme Decay. Sementara indie label pionir yang hingga kini masih bertahan serta tetap produktif merilis album di Malang adalah Confused Records

Scene Bali

Berbicara scene underground di Bali kembali kita akan menemukan komunitas metal sebagai pelopornya. Penggerak awalnya adalah komunitas 1921 Bali Corpsegrinder di Denpasar. Ikut eksis di dalamnya antara lain, Dede Suhita, Putra Pande, Age Grindcorner dan Sabdo Moelyo. Dede adalah editor majalah metal Megaton yang terbit di
Jogjakarta, Putra Pande adalah salah satu pionir webzine metal Indonesia
Corpsegrinder (kini Anorexia Orgasm) sejak 1998, Age adalah pengusaha distro yang pertama di Bali dan Moel adalah gitaris/vokalis band death metal etnik, Eternal Madness yang aktif menggelar konser underground di sana. Nama 1921 sebenarnya diambil dari durasi siaran program musik metal mingguan di Radio Cassanova, Bali yang
berlangsung dari pukul 19.00 hingga 21.00 WITA.

Awal 1996 komunitas ini pecah dan masing-masing individunya jalan sendiri-sendiri. Moel bersama EM Enterprise pada tanggal 20 Oktober 1996 menggelar konser underground besar pertama di Bali bernama Total Uyut di GOR Ngurah Rai, Denpasar. Band-band Bali yang tampil diantaranya Eternal Madness, Superman Is Dead, Pokoke, Lithium, Triple Punk, Phobia, Asmodius hingga Death Chorus. Sementara band- band luar Balinya adalah Grausig, Betrayer (Jakarta), Jasad, Dajjal, Sacrilegious, Total Riot (Bandung) dan Death Vomit (Jogjakarta). Konser ini sukses menyedot sekitar 2000 orang penonton dan hingga sekarang menjadi festival rock underground tahunan di sana. Salah satu
alumni Total Uyut yang sekarang sukses besar ke seantero nusantara adalah band punk asal Kuta, Superman Is Dead. Mereka malah menjadi band punk pertama di Indonesia yang dikontrak 6 album oleh Sony Music Indonesia. Band-band indie Bali masa kini yang stand out di antaranya adalah Navicula, Postmen, The Brews, Telephone, Blod Shot Eyes
dan tentu saja Eternal Madness yang tengah bersiap merilis album ke tiga mereka dalam waktu dekat.

Memasuki era 2000-an scene indie Bali semakin menggeliat. Kesuksesan S.I.D memberi inspirasi bagi band-band Bali lainnya untuk berusaha lebih keras lagi, toh S.I.D secara konkret sudah membuktikan kalau band `putera daerah’ pun sanggup menaklukan kejamnya industri musik ibukota. Untuk mendukung band-band Bali, drummer S.I.D, Jerinx dan beberapa kawannya kemudian membuka The Maximmum Rock N’ Roll Monarchy (The Max), sebuah pub musik yang berada di jalan Poppies, Kuta. Seringkali diadakan acara rock reguler di tempat ini.

Indie Indonesia Era 2000-an

Bagaimana pergerakan scene musik independen Indonesia era 2000-an? Kehadiran teknologi internet dan e-mail jelas memberikan kontribusi besar bagi perkembangan scene ini. Akses informasi dan komunikasi yang terbuka lebar membuat jaringan (networking) antar komunitas ini semakin luas di Indonesia. Band-band dan komunitas-komunitas baru banyak bermunculan dengan menawarkan style musik yang lebih beragam. Trend indie label berlomba-lomba merilis album band-band lokal juga menggembirakan, minimal ini adalah upaya pendokumentasian sejarah yang berguna puluhan tahun ke depan.

Yang menarik sekarang adalah dominasi penggunaan idiom `indie’ dan bukan underground untuk mendefinisikan sebuah scene musik non- mainstream lokal. Sempat terjadi polemik dan perdebatan klasikmengenai istilah `indie atau underground’ ini di tanah air. Sebagian orang memandang istilah `underground’ semakin bias karena kenyataannya kian hari semakin banyak band-band underground yang `sell-out’, entah itu dikontrak major label, mengubah style musik demi kepentingan bisnis atau laris manis menjual album hingga puluhan ribu keping. Sementara sebagian lagi lebih senang menggunakan idiom indie karena lebih `elastis’ dan misalnya, lebih friendly bagi band-band yang memang tidak memainkan style musik ekstrem. Walaupun terkesan lebih kompromis, istilah indie ini belakangan juga semakin sering digunakan oleh media massa nasional, jauh
meninggalkan istilah ortodoks `underground’ itu tadi.

Ditengah serunya perdebatan indie/underground, major label atau indie label, ratusan band baru terlahir, puluhan indie label ramai- ramai merilis album, ribuan distro/clothing shop dibuka di seluruh Indonesia. Infrastruktur scene musik non-mainstream ini pun kian established dari hari ke hari. Mereka seakan tidak peduli lagi dengan polarisasi indie-major label yang makin tidak substansial. Bermain musik sebebas mungkin sembari bersenang-senang lebih menjadi `panglima’ sekarang ini.

Perkembangan musik Indie label

Perkembangan musik Indie label



Sejarah industri rekaman di Indonesia dimulai pada awal tahun 1960-an, tatkala Studio Irama mulai merekam lagu-lagu jenis hiburan (untuk menyebut ‘lagu pop’ jaman itu), melalui cakram (piringan hitam) untuk Nien Lesmana, Rachmat Kartolo dan Koes Bersaudara. Lalu, terjadi perkembangan berarti pada awal dekade 1970-an, tatkala almarhum Dick Tamimi mendirikan perusahaan rekaman Dimita, yang akhirnya merekam album Koes Plus (dengan drummer Murry menggantikan Nomo Koeswoyo), band wanita Dara Puspita dan grup Panbers. Pada jaya Dimita inilah Indonesia mulai memiliki band-band rekaman yang saat kemudian mampu menyemarakkan industri rekaman pop maupun panggung.


Pada saat yang hampir bersamaan, ada sekelompok musisi yang populer dengan kebebasan berekspresinya, pada awalnya bisa dilihat dari gaya panggungnya yang ‘nyeleneh’ dan komposisi lagu ciptaannya yang unik, antara lain dapat ditemui pada karya The Gang of Harry Roesli, The Rollies dan Giant Step (Bandung), God Bless (Jakarta), dan AKA Group (Surabaya). Band-band yang disebut paling belakang itu bahkan berdiri dan berkreasi dalam rentang waktu antara tahun 1969 hingga memasuki tahun 1980-an.

Bayangkan tentang penampilan God Bless dengan peti mati atau AKA Group yang ke panggung dengan membawa roda pedati raksasa, sementara band Rawe Rontek dari Banten manggung di belakang Gedung Sate (Bandung) pada tahun 1976 dengan memakai atraksi debus lengkap dengan penggorengannya di atas kepala vokalis.

Kebebasan berkreasi yang mereka usung sebagian diakomodasi melalui album-album rekaman yang berbeda dan panggung dengan model audiens yang beragam pula. Ini artinya, heterogenitas musik di Indonesia sejatinya telah ada sejak akhir dekade tahun 1960-an hingga hari ini, yang sebagian lagu karyanya dapat diakomodasi melalui label rekaman besar yang biasa disebut sebagai major label.

Sejumlah nama dan karya pemusik sempat ditolak satu label, tapi akhirnya diterima oleh label lainnya, dan akhirnya albumnya meledak di pasaran. Contoh hal ini adalah album Camelia, album perdana Ebiet G Ade yang diluncurkan Jackson Records pada seputar 1979. Juga lagu-lagu pada album Peterpan yang diedarkan oleh Musica Studio’s.

Pada tahun 1994, Pas Band dari Bandung memulai revolusi rekaman band indie melalui mini album rock 4 lagu. Meski mini album Pas Band awalnya beredar terbatas di Bandung dan sekitarnya, komunitas indie ini terendus oleh Aquarius Musikindo yang kemudian memutuskan mengontrak Pas Band untuk bergabung. Maka, terbitlah album berisi lagu-lagu di album indie plus lagu-lagu baru Pas Band melalui major label Aquarius Musikindo (1995). Terobosan ini dilanjutkan dengan direkrutnya Suckerhead oleh Aquarius, dan juga direkamnya grup cadas Edane pada tahun berikutnya. Lalu – untuk menampung puluhan band indie lainnya –

Aquarius resmi membuka label baru dengan bendera Independent dan Pops pada 1997. Nama-nama Type-X, Betrayer, Rumah Sakit, solo album Agus Sasongko, adalah sebagian dari musisi yang pernah ber-indie ria.

Di Sony Music, band-band indie juga diakomodasi, tanpa diintervensi karyanya, antara lain untuk album Superman Is Dead, Saint Loco, Navicula dan banyak lainnya. Sementara itu, di luar major label, gerakan indie terus menanjak naik. Puncaknya terjadi pada awal tahun 2000, tatkala GOR Saparua di Bandung, hampir saban Minggu menggelar acara penampilan band-band indie dari penjuru Indonesia, dengan syarat biaya transportasi dan akomodasi ditanggung manajemen musisi sendiri. Pada saat itu, setiap band manggung harus ikut mendanai ‘pesta musiknya’ sendiri dengan membayar sejumlah uang untuk biaya sewa tata suara, alat musik, panggung, dekorasi dan venue. Di luar GOR Saparua, jualan album indie dan merchandise-nya, termasuk majalah indie lokal, digelar.

Tapi sejarah band indie yang paling spektakuler ‘penghasilannya’ bisa dipastikan berlaku pada Slank. Band yang bermarkas di Jl. Potlot Jakarta ini telah menyimpan fans fanatik terdaftar dalam komunitas Slankers sebanyak 400.000 orang. Slankers
inilah pembeli fanatik kaset dan CD, merchandise Slank, dan penonton konser Slank, yang terus mencoba menghindari membeli barang bajakannya. Jika Slank sendiri telah ber-indie ria sejak album ke 7 (hit ‘Balikin’) melalui label Slank Records dengan model titip edar lewat Virgo Ramayana Records, maka inilah industri indie yang terbesar dalam sejarah indie label di Indonesia. Itu pula sebabnya, hanya Slank yang berani melepas 2 album dalam setahun (album reguler dan album road show), karena telah jelas jumlah pembelinya.

Bare Naked Ladies

Band indie Indonesia mungkin bisa berkaca pada perjuangan band indie luar negeri. Segala keterbatasan bisa dihadapai tanpa mengurangi musikalitas, mereka bisa konsisten untuk melepas album dengan , kualitas yang konsisten pula. Seperti yang dikukan Barenaked Ladies (BNL), band alternatif rock asal Kanada.

Band yang terbentuk 16 tahun silam ini bakal kembali menghibur lewat album terbarunya. Dengan punggawa Ed Robertsen (vokal/gitar), Steven Page (vokal/gitar), Jim Creeggan (bas), Kevin Hearn (keyboard), Tyler stewart (drum) telah menyatakan untuk merilis album ke 11.

Sayang, mereka belum menyatakan kepastian rilis dan judul album yang akan di lepas. Tapi, Ed Robertson menyatakan telah membuat sekitar 30 lagu. Tentunya tetap pada jalur indie, mereka menggaet Nettwerk Music Group via Desperation Record sebagai label. \"Kami tidak lagi memikirkan berapa lagu yang akan diedarkan. Entah itu 12 atau 14 track,\" ujar vokalis band ini.

\"Yang jelas kami akan maksimalkan penggarapan ini. Bukan double album atau triple album. Tapi, benar-benar album yang akan kami nyanyikan lewat tur. Pasalnya, dengan begini kami merasa tetap dekat dengan fans ,\" tambahnya.

Lewat tur, BNL bakal habis-habisan mempromosikan albumnya. Pasalnya, sejak pertama band ini muncul di tahun 1988 memang punya reputasi bagus untuk live performance. Buktinya, saat tahun itu pula mereka mendapat gelar North America’s Best Loved Live Acts.

Back to topic ada bocoran beberapa lagu yang telah rampung. Down the Earth dan Everything Had Changed akan mereka beberkan pada tur di Montreal tanggal 21 Nopember besok.

Rekaman live performance-nya bisa dilihat di website Apple’s iTunes Music Store. Mereka sengaja menjual sekitar 30 konser di berbagai negara untuk memuaskan fansnya.

Kuintet ini selalu merekam semua shownya untuk diputar. \"Kami selalu membawa engineer saat tur. Fungsinya, agar hasil klip videonya bisa langsung di upload ke website,\" tambah Robertson.

Roberson menambahkan BNL mungkin akan disibukan tur saat musim panas tahun depan. \"Bertepatan dengan itu album baru ini bakal rilis 2006 besok. Tapi, lagu kami bakal lebih nge-rock. Tidak sama dengan lagu sebelum-sebelum ini. Finnally, kami ingin orang mendengan kami memainkan lagu rock,\" jelas frontman BNL ini.



Sejarah industri rekaman di Indonesia dimulai pada awal tahun 1960-an, tatkala Studio Irama mulai merekam lagu-lagu jenis hiburan (untuk menyebut ‘lagu pop’ jaman itu), melalui cakram (piringan hitam) untuk Nien Lesmana, Rachmat Kartolo dan Koes Bersaudara. Lalu, terjadi perkembangan berarti pada awal dekade 1970-an, tatkala almarhum Dick Tamimi mendirikan perusahaan rekaman Dimita, yang akhirnya merekam album Koes Plus (dengan drummer Murry menggantikan Nomo Koeswoyo), band wanita Dara Puspita dan grup Panbers. Pada jaya Dimita inilah Indonesia mulai memiliki band-band rekaman yang saat kemudian mampu menyemarakkan industri rekaman pop maupun panggung.


Pada saat yang hampir bersamaan, ada sekelompok musisi yang populer dengan kebebasan berekspresinya, pada awalnya bisa dilihat dari gaya panggungnya yang ‘nyeleneh’ dan komposisi lagu ciptaannya yang unik, antara lain dapat ditemui pada karya The Gang of Harry Roesli, The Rollies dan Giant Step (Bandung), God Bless (Jakarta), dan AKA Group (Surabaya). Band-band yang disebut paling belakang itu bahkan berdiri dan berkreasi dalam rentang waktu antara tahun 1969 hingga memasuki tahun 1980-an.

Bayangkan tentang penampilan God Bless dengan peti mati atau AKA Group yang ke panggung dengan membawa roda pedati raksasa, sementara band Rawe Rontek dari Banten manggung di belakang Gedung Sate (Bandung) pada tahun 1976 dengan memakai atraksi debus lengkap dengan penggorengannya di atas kepala vokalis.

Kebebasan berkreasi yang mereka usung sebagian diakomodasi melalui album-album rekaman yang berbeda dan panggung dengan model audiens yang beragam pula. Ini artinya, heterogenitas musik di Indonesia sejatinya telah ada sejak akhir dekade tahun 1960-an hingga hari ini, yang sebagian lagu karyanya dapat diakomodasi melalui label rekaman besar yang biasa disebut sebagai major label.

Sejumlah nama dan karya pemusik sempat ditolak satu label, tapi akhirnya diterima oleh label lainnya, dan akhirnya albumnya meledak di pasaran. Contoh hal ini adalah album Camelia, album perdana Ebiet G Ade yang diluncurkan Jackson Records pada seputar 1979. Juga lagu-lagu pada album Peterpan yang diedarkan oleh Musica Studio’s.

Pada tahun 1994, Pas Band dari Bandung memulai revolusi rekaman band indie melalui mini album rock 4 lagu. Meski mini album Pas Band awalnya beredar terbatas di Bandung dan sekitarnya, komunitas indie ini terendus oleh Aquarius Musikindo yang kemudian memutuskan mengontrak Pas Band untuk bergabung. Maka, terbitlah album berisi lagu-lagu di album indie plus lagu-lagu baru Pas Band melalui major label Aquarius Musikindo (1995). Terobosan ini dilanjutkan dengan direkrutnya Suckerhead oleh Aquarius, dan juga direkamnya grup cadas Edane pada tahun berikutnya. Lalu – untuk menampung puluhan band indie lainnya –

Aquarius resmi membuka label baru dengan bendera Independent dan Pops pada 1997. Nama-nama Type-X, Betrayer, Rumah Sakit, solo album Agus Sasongko, adalah sebagian dari musisi yang pernah ber-indie ria.

Di Sony Music, band-band indie juga diakomodasi, tanpa diintervensi karyanya, antara lain untuk album Superman Is Dead, Saint Loco, Navicula dan banyak lainnya. Sementara itu, di luar major label, gerakan indie terus menanjak naik. Puncaknya terjadi pada awal tahun 2000, tatkala GOR Saparua di Bandung, hampir saban Minggu menggelar acara penampilan band-band indie dari penjuru Indonesia, dengan syarat biaya transportasi dan akomodasi ditanggung manajemen musisi sendiri. Pada saat itu, setiap band manggung harus ikut mendanai ‘pesta musiknya’ sendiri dengan membayar sejumlah uang untuk biaya sewa tata suara, alat musik, panggung, dekorasi dan venue. Di luar GOR Saparua, jualan album indie dan merchandise-nya, termasuk majalah indie lokal, digelar.

Tapi sejarah band indie yang paling spektakuler ‘penghasilannya’ bisa dipastikan berlaku pada Slank. Band yang bermarkas di Jl. Potlot Jakarta ini telah menyimpan fans fanatik terdaftar dalam komunitas Slankers sebanyak 400.000 orang. Slankers
inilah pembeli fanatik kaset dan CD, merchandise Slank, dan penonton konser Slank, yang terus mencoba menghindari membeli barang bajakannya. Jika Slank sendiri telah ber-indie ria sejak album ke 7 (hit ‘Balikin’) melalui label Slank Records dengan model titip edar lewat Virgo Ramayana Records, maka inilah industri indie yang terbesar dalam sejarah indie label di Indonesia. Itu pula sebabnya, hanya Slank yang berani melepas 2 album dalam setahun (album reguler dan album road show), karena telah jelas jumlah pembelinya.

Bare Naked Ladies

Band indie Indonesia mungkin bisa berkaca pada perjuangan band indie luar negeri. Segala keterbatasan bisa dihadapai tanpa mengurangi musikalitas, mereka bisa konsisten untuk melepas album dengan , kualitas yang konsisten pula. Seperti yang dikukan Barenaked Ladies (BNL), band alternatif rock asal Kanada.

Band yang terbentuk 16 tahun silam ini bakal kembali menghibur lewat album terbarunya. Dengan punggawa Ed Robertsen (vokal/gitar), Steven Page (vokal/gitar), Jim Creeggan (bas), Kevin Hearn (keyboard), Tyler stewart (drum) telah menyatakan untuk merilis album ke 11.

Sayang, mereka belum menyatakan kepastian rilis dan judul album yang akan di lepas. Tapi, Ed Robertson menyatakan telah membuat sekitar 30 lagu. Tentunya tetap pada jalur indie, mereka menggaet Nettwerk Music Group via Desperation Record sebagai label. \"Kami tidak lagi memikirkan berapa lagu yang akan diedarkan. Entah itu 12 atau 14 track,\" ujar vokalis band ini.

\"Yang jelas kami akan maksimalkan penggarapan ini. Bukan double album atau triple album. Tapi, benar-benar album yang akan kami nyanyikan lewat tur. Pasalnya, dengan begini kami merasa tetap dekat dengan fans ,\" tambahnya.

Lewat tur, BNL bakal habis-habisan mempromosikan albumnya. Pasalnya, sejak pertama band ini muncul di tahun 1988 memang punya reputasi bagus untuk live performance. Buktinya, saat tahun itu pula mereka mendapat gelar North America’s Best Loved Live Acts.

Back to topic ada bocoran beberapa lagu yang telah rampung. Down the Earth dan Everything Had Changed akan mereka beberkan pada tur di Montreal tanggal 21 Nopember besok.

Rekaman live performance-nya bisa dilihat di website Apple’s iTunes Music Store. Mereka sengaja menjual sekitar 30 konser di berbagai negara untuk memuaskan fansnya.

Kuintet ini selalu merekam semua shownya untuk diputar. \"Kami selalu membawa engineer saat tur. Fungsinya, agar hasil klip videonya bisa langsung di upload ke website,\" tambah Robertson.

Roberson menambahkan BNL mungkin akan disibukan tur saat musim panas tahun depan. \"Bertepatan dengan itu album baru ini bakal rilis 2006 besok. Tapi, lagu kami bakal lebih nge-rock. Tidak sama dengan lagu sebelum-sebelum ini. Finnally, kami ingin orang mendengan kami memainkan lagu rock,\" jelas frontman BNL ini.